Novel


Part 1.

Ternyata dia di sini, di dekatku. Mengambil jurusan yang sama di Universitas yang sama pula. Ada perasaan lega menghampiriku. Setidaknya untuk waktu kurang lebih 2 tahun ke depan aku tak sendirian. Apa mungkin ia merasa lega juga sepertiku? Ach...aku tak tahu. Aku tak ingin merusak suasana hatiku saat ini.
Banjir bandang disertai lumpur melanda sebagian besar kota-kota di Singapura. Universitas tempat aku menimba ilmu dan apartemenku pun tak luput dari terjangannya. Mahasiswa dan mahasiswi pun diliburkan hingga banjir yang disertai lumpur ini surut. Entah sampai kapan. Bencana banjir ini tak seperti biasanya. Bisa dibilang bencana banjir kali ini adalah bencana banjir terbesar dalam kurun 20 tahun ini. Apalagi Banjir kali ini disertai lumpur. Padahal seluruh dunia tahu, Singapura merupakan salah satu kota terbersih. Terus, dari mana lumpur itu berasal. Gunung merapi pun tak punya.
Kini kelegaanku semakin bertambah. Berbunga-bunga. Di balik bencana yang melanda, Allah masih menyisakan sejuta rasa. Tapi sungguh terasa aneh bagiku. Bukan kah aneh, di saat bencana melanda seperti saat ini, di saat semua orang sibuk mengevakuasi diri, mengevakuasi sanak keluarga, mengevakuasi barang- barang berharga agar bisa keluar dari jebakan banjir dan lumpur tapi dia malah mengundang keluarganya datang kemari. Ada Aw, Fi, dan Ih. jantungku berdegub dengan kencang saat melewati mereka.
Aw terlihat sedang asyik mengotak-atik handphonenya seraya menyelipkan earphone di telinganya. Aw duduk bersandar di sebelah kanan kakanya. Sedangkan Fi dari tadi tampak gelisah, dari tadi mondar-mandir tidak jelas, ke kanan dua langkah ke kiri dua langkah. Ih jadi sedikit kebingungan melihat tingkah kakaknya yang tidak jelas itu. Ih sedikit kesal, berkali-kali ia mengerutkan keningnya.
Ih beranjak dari pangkuan kakaknya. Kini Ih melangkah ke kanan 2 langkah kemudian ke kiri 2 langkah meniru gaya kakaknya seraya menggaruk-garuk rambutnya. Aku hanya tersenyum. Aku tidak menyapa. Mereka membalas senyumku. Namun senyum mereka terasa sedikit terpaksa. Berarti tindakanku saat ini sudah tepat. Tak usahlah aku ganggu mereka dulu.
Sebelum aku menuju kamarku,kusempatkan menuju toilet sekedar membasuh mukaku. Tiba-tiba dari balik pintu muncullah sosok Aw dengan senyumnya yang mengembang. " Mas,..." sapanya sambil menutup kembali pintu yang tadi dibukanya dengan hati-hati.
‎"Aku rindu sekali..., inginku sekali memelukmu..." batinku bergejolak. Mungkin Aw menangkap apa yang kurasakan. Kini wajahnya semakin berbinar. "Kangen mas karo sampeyan, gimana kabarnya? Gimana kuliahnya?" ia memberondongiku dengan begitu banyak pertanyaan sambil menjulurkan tangannya ke kran yang ada di wastafel.